SURABAYA, GELORAJATIM.COM — Warga kota Surabaya yang tergabung dalam Presidium Surat Ijo ( Presisi) menggelar aksi demo di depan Kantor Wilayah BPN Provinsi Jawa Timur, Jalan Gayung Kebonsari No.60, Surabaya, Kamis 21 September 2023 pagi tadi.
Mereka membawa poster berisi ungkapan dan menyerukan orasi menolak rencana surat ijo menjadi Hak Guna Bangunan (HGB) di atas Hak Pengelolaan Lahan (HPL) dan meminta surat Menteri ATR /Ka.BPN RI yang ditujukan kepada Walikota Surabaya tanggal 1 Desember 2022 untuk segera dicabut.
Perwakilan pendemo akhirnya dipersilahkan masuk untuk menyampaikan pendapatnya. Ketua Presisi, Saleh Alhasni mengatakan bahwa kedatangannya ini salah satunya adalah mempermasalahkan surat tanggal 1 Desember 2022, surat yang ditujukan kepada Walikota oleh Menteri ATR yang sekarang.
Dalam surat tersebut ada dua poin penyelesaiannya, satunya itu adalah mengacu kepada surat Menteri yang sebelumnya, tanggal 24 Juni 2019. Namun isinya itu tidak dituangkan semua didalam saran penyelesaiannya, hanya dituangkan sekilas saja, yang ujung-ujungnya saja, kemudian pemberian solusi kalau mau SHM lewat Perda 16 tahun 2014, dan Perwali 51 tahun 2015 tentang pelepasan tanah aset pemerintah kota dan tata cara pelepasan.
”Namun keduanya baik perda dan Perwali tidak pernah dilaksanakan sejak adanya Perda itu sendiri, sampai sekarang inipun tidak pernah, tiba- tiba oleh Menteri dijadikan dasar disitu, padahal pelaksanaannya pun tidak pernah dilaksanakan,”ungkapnya usai pertemuan dengan pihak Kanwil BPN Jatim.
Dirinya melanjutkan bahwa Menteri akhirnya memberi alternatif, 30 tahun, 20 tahun yang didasarkan PP 18 Tahun 2021. Sementara kami menolak, kenapa kami menolak karena adanya rekomendasi yang pertama itu, yang sudah dijalankan oleh DPRD Jawa Timur tanggal 28 Oktober 2018 dan rekomendasi dari Gubernur Jawa Timur tanggal 30 November 2018, serta surat Kanwil BPN sini kepada direktur pengadaan tanah di Jakarta, surat tanggal 31 Desember 2018.
”Dengan dasar tiga surat inilah, Menteri ATR pada waktu itu mengeluarkan surat yang ditujukan kepada Gubernur. Dimana disitu ada saran penyelesaian. Surat itu yang dijadikan dasar oleh Menteri ATR yang sekarang dalam poin pertama, tapi poin pertamanya itu tidak ditulis secara lengkap, jadi hanya sepenggal untuk kepentingan pemerintah kota saja,” jelas Saleh.
Disitu ada juga Perda 16, yang mana Perda itu tidak pernah dilaksanakan, di poin kedua melalui PP ini, yang 30 tahun, 20 tahun, dan warga menolak karena jelas kalau kita menandatangani itu, sama saja kita tidak mengikuti SK yang diterbitkan pertama kali ditahun 97, sehingga tidak mungkinlah kami mau menerima uang seperti itu,” imbuhnya.

Keinginan kami ada kebijakan Presiden dan mengeluarkan Keppres, karena apa, disitu kalau seandainya pemerintah kota itu melepaskan maka dia akan dikejar oleh para penegak hukum. Sementara kami menjadi korban selama ini, dengan tidak adanya kepastian hukum dan warga masyarakat akan ogah untuk membayar pajak atau PBB.
Dimana selama ini kami kan ini membayar PBB untuk itikad baik kami, tapi ketika itikad baik kami dirampas maka kami berhenti, apalagi kami sudah dikatakan tidak punya hubungan hukum dalam pengadilan-pengadilan kami.
”Harapan kami, Menteri ATR bisa menyampaikan kepada Presiden bahwa seperti ini yang terjadi. Dan ini akan mempercepat penyelesaian dan membuat kita ini cepat tumbuh, serta perekonomian ini akan jalan lebih bagus,”pungkasnya.
Sementara itu, Kabag TU Ribut Hari Cahyono, Kabid PHP Yanis H Detan dan Eko Jauhari, penata pertanahan madya dalam pertemuan akan menampung dan menindaklanjuti semua pendapat yang disampaikan oleh warga pemilik surat Ijo tersebut. ( teguh w)