GELORAJATIM.COM — Suasana tegang menyelimuti kawasan Tambak Oso, Sidoarjo, Rabu (18/6) pagi, menyusul rencana eksekusi lahan seluas 9,8 hektar yang diwarnai penolakan keras dari ribuan warga dan Aliansi Anti Mafia Tanah Jawa Timur.
Eksekusi yang dijadwalkan akan mengerahkan 750 personel Brimob ini memicu kekhawatiran akan potensi bentrokan, di tengah sorotan tajam dari kalangan praktisi hukum terhadap dugaan kejanggalan prosedur dan indikasi praktik mafia tanah.
Advokat H. Mansur, SH, Ketua Perkumpulan Advokat dan Pengacara Nusantara (PERADAN) Wilayah Jawa Timur, menyayangkan keras upaya eksekusi ini, menegaskan bahwa ada ketidakberesan yang harus diusut tuntas.
“Kami sangat menyayangkan rencana eksekusi ini. Ada banyak kejanggalan yang tercium, dan ini bukan sekadar sengketa perdata biasa. Ini adalah pertarungan melawan ketidakadilan yang sistematis,” ujar H. Mansur, SH, kepada awak media.
Lahan yang menjadi objek sengketa ini bukan tanah biasa. Berdasarkan informasi yang dihimpun, tanah di Tambak Oso ini merupakan tanah wakaf dan infaq yang telah dikelola oleh umat selama puluhan tahun, menjadi tumpuan hidup dan sarana ibadah bagi masyarakat setempat.
Ironisnya, tanah yang memiliki nilai historis dan spiritual tinggi bagi komunitas ini kini terancam direbut melalui proses hukum yang dinilai cacat.
“Tanah ini adalah tanah umat, didapat dari infaq dan shodaqoh puluhan tahun lalu. Bagaimana mungkin tanah suci ini sekarang mau direbut dengan cara-cara yang melawan hukum? Ini adalah penistaan terhadap hak-hak umat dan sebuah tindakan yang patut dipertanyakan motifnya,” tegas H. Mansur, dengan nada prihatin.
Kejanggalan prosedur eksekusi menjadi sorotan utama. Surat pemberitahuan eksekusi yang seharusnya diterima pihak tereksekusi minimal 3×24 jam sebelum pelaksanaan, justru baru diterima kemarin, 17 Juni 2025, hanya sehari sebelum eksekusi dijadwalkan.
Kondisi ini jelas melanggar prosedur hukum acara yang berlaku dan menimbulkan pertanyaan besar mengenai transparansi dan keadilan dalam proses ini.
“Ini adalah kejanggalan yang tidak biasa. Surat pemberitahuan eksekusi baru diterima kemarin, padahal eksekusi akan dilakukan hari ini. Ini jelas melanggar prosedur hukum yang seharusnya. Ada apa di balik percepatan dan pemaksaan eksekusi ini?” tanya H. Mansur, SH, mempertanyakan integritas proses hukum.
Lebih lanjut, H. Mansur, SH, menyoroti fakta krusial terkait putusan pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Meskipun perkara perdata yang melibatkan pihak pemilik tanah telah kalah dan berkekuatan hukum tetap, terdapat putusan pidana yang secara terang benderang menjelaskan bahwa proses jual beli tanah tersebut dilakukan dengan tipu muslihat oleh pembeli bernama Agung, yang kini telah divonis bersalah dan mendekam di penjara.
Dalam prinsip hukum, putusan pidana yang menyatakan adanya tindak pidana dalam perolehan hak atas tanah seharusnya menggugurkan putusan perdata yang mendasarinya.
“Telah terang benderang bahwa proses jual beli tanah ini dilakukan dengan tipu muslihat, dan pelakunya sudah divonis bersalah serta masuk penjara. Ketika putusan pidana menang dan membuktikan adanya kejahatan, secara otomatis putusan perdata yang didasarkan pada perbuatan curang itu seharusnya gugur. Lalu, mengapa ini tidak dijalankan sesuai prosedur hukum? Ada apa ini?” desak H. Mansur, SH, menuntut kejelasan hukum.
Atas dasar kejanggalan dan indikasi kuat adanya praktik curang, H. Mansur, SH, sebagai Ketua PERADAN Jawa Timur, mendesak pihak berwenang untuk mengusut tuntas kasus ini. Dugaan adanya “kongkalikong” antara mafia tanah dengan oknum-oknum tertentu yang berupaya merebut tanah umat ini harus diungkap ke publik.
“Patut diduga kuat ini ada kongkalikong antara Mafia Tanah dengan oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Siapa oknumnya, harus diungkap dan diseret ke meja hijau. Kami tidak akan tinggal diam dan akan terus melawan mafia tanah yang merampas hak-hak rakyat kecil,” pungkas H. Mansur, SH, menyerukan perlawanan terhadap praktik-praktik ilegal ini.
Ribuan masyarakat dan Aliansi Anti Mafia Tanah Jawa Timur menyatakan kesiapan mereka untuk terus menghadang eksekusi dan mempertahankan tanah mereka hingga titik darah penghabisan.
Mereka menyerukan keadilan dan meminta aparat penegak hukum untuk berdiri di sisi kebenaran, bukan menjadi alat bagi kepentingan segelintir pihak. Kasus Tambak Oso ini menjadi ujian integritas bagi sistem hukum di Indonesia, apakah keadilan akan ditegakkan ataukah praktik mafia tanah akan terus merajalela.(Zain)