GELORAJATIM.COM — 19/4/2025. Kulit sawo matang sering disebut sebagai warna kulit khas orang Indonesia. Namun sayangnya, tidak semua orang memandang warna kulit ini sebagai simbol kecantikan. Standar kecantikan yang cenderung memuja kulit putih membuat banyak orang berkulit sawo matang merasa kurang percaya diri, bahkan menjadi korban stereotip dan diskriminasi.
1. Warna Kulit Indonesia Sangat Beragam, Tapi Kenapa Hanya Kulit Putih yang Diagungkan?
Indonesia dikenal sebagai negara dengan keragaman etnis, budaya, dan warna kulit. Dari Sabang sampai Merauke, kita bisa menemukan spektrum warna kulit mulai dari terang, kuning langsat, sawo matang, hingga gelap. Namun dalam realitas sosial, kulit putih sering ditampilkan sebagai representasi kecantikan ideal.
Dominasi kulit putih dalam iklan, media, dan industri hiburan membentuk persepsi masyarakat secara tidak langsung. Banyak yang akhirnya menganggap kulit putih sebagai satu-satunya standar cantik, sementara warna kulit lain dinilai kurang ideal. Padahal, keindahan sejati tak bisa diukur dari warna kulit semata. Mengabaikan keragaman ini berarti juga mengabaikan identitas bangsa.
2. Standar Kecantikan Dibentuk oleh Sejarah Kolonialisme dan Budaya Patriarki
Standar kecantikan yang menempatkan kulit putih sebagai ideal tidak muncul secara tiba-tiba. Akar sejarahnya berasal dari masa kolonial, ketika bangsa Eropa memaksakan nilai-nilai mereka kepada masyarakat jajahan, termasuk dalam hal warna kulit. Kulit terang dianggap lebih “beradab”, sementara kulit gelap dilabeli “primitif” atau “kasar”.
Budaya patriarki juga memperkuat anggapan ini. Perempuan diharapkan tampil menarik secara visual menurut pandangan laki-laki yang banyak dipengaruhi oleh citra kecantikan Eropa. Tak heran jika banyak perempuan merasa perlu memutihkan kulit agar dianggap lebih menarik atau lebih layak untuk sukses.
3. Iklan Kecantikan dan Media Perkuat Diskriminasi terhadap Kulit Sawo Matang
Industri kecantikan memegang peran besar dalam membentuk cara pandang masyarakat terhadap penampilan. Iklan produk pemutih kulit dan kosmetik sering menampilkan model berkulit putih dengan narasi “kulit cerah itu cantik”. Ini menciptakan tekanan terselubung bagi mereka yang berkulit sawo matang untuk mengubah penampilan agar sesuai dengan standar tersebut.
Dalam penelitiannya, Soraya Alamri, mahasiswi Program Studi Akidah dan Filsafat Islam UIN Datokarama Palu menjelaskan bahwa iklan kecantikan tidak hanya menjual produk, tapi juga menciptakan mitos dan standar kecantikan sempit. Dengan pendekatan filsafat kritis, ia menyebut bahwa industri kosmetik menggunakan visual perempuan berkulit putih sebagai simbol kecantikan, yang berdampak pada rendahnya kepercayaan diri perempuan berkulit gelap dan memperkuat rasisme simbolik di masyarakat.
4. Anak-Anak dan Remaja Berkulit Sawo Matang Rentan Dibully dan Alami Krisis Identitas
Dampak standar kecantikan eksklusif ini sangat terasa di kalangan remaja. Banyak anak-anak berkulit sawo matang yang menjadi korban ejekan, disebut “hitam”, “dekil”, atau “kurang bersih”. Ini bisa melukai harga diri dan menimbulkan trauma jangka panjang.
Contohnya, pada Maret 2024, publik figur Inara Rusli mengungkapkan bahwa anak perempuannya dibully di media sosial karena warna kulitnya. Banyak komentar membandingkan anaknya yang berkulit sawo matang dengan ibunya yang berkulit putih, bahkan menyarankan “dikasih perawatan biar gak gelap”.
Inara merespons tegas:
“Pada heran lihat anak mirip bapaknya. Ntar kalau mirip laki orang atau laki lu lebih heran lagi lu, ribut dah lu berdua.”
Komentar itu menjadi bentuk perlawanan terhadap body shaming, sekaligus pengingat bahwa kulit sawo matang adalah bagian dari identitas keluarga dan etnis yang layak dihormati.
Menurut data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), sepanjang 2024 tercatat 573 kasus kekerasan di sekolah, dengan 31 persen di antaranya merupakan kasus perundungan atau bullying. Banyak anak merasa malu dengan warna kulitnya, bahkan bermimpi punya kulit putih agar lebih diterima.
5. Hargai Semua Warna Kulit agar Semua Orang Merasa Diterima
Untuk mengakhiri diskriminasi berdasarkan warna kulit, kita harus membongkar standar kecantikan yang tidak inklusif. Salah satu cara efektif adalah dengan memperluas representasi warna kulit di media dan iklan. Kulit sawo matang, gelap, atau apapun spektrumnya harus mendapat tempat yang sama tanpa harus diubah agar terlihat “ideal”.
Menghargai keragaman warna kulit adalah bagian dari menghargai jati diri dan kekayaan budaya bangsa. Dengan membangun kesadaran ini, kita bisa menjadi masyarakat yang lebih adil, sehat secara psikologis, dan toleran terhadap perbedaan.
