Misteri Kampung Pitu.
Gelorajatim.com _ Juru kunci Kampung Pitu Redjo Dimulyo menyambut tim gelorajatim.com di rumahnya yang berjarak beberapa ratus meter dari rumah Redjo. Dalino juga adalah orang yang merawat Telaga Guyangan alias Telaga Pelanggeran, salah satu situs sakral yang merupakan sumber mata air yang diandalkan warga Kampung Pitu. Warga percaya air di telaga ini biasa digunakan para dewa dan bidadari untuk membasuh kuda sembrani alias kuda bersayap kendaraan mereka. “Beberapa warga pernah melihat, kuda terbang menclok di batu seberangnya,” ujar Dalino.
Saat ini, telaganya ditanami padi dan diganti dengan sebuah sumur di bawah pohon beringin besar. Sesaji berupa kemenyan dan kembang tujuh rupa tak pernah absen di akar pohonnya.
Hari itu Dalino mengantar tim gelorajatim.com berkeliling Kampung Pitu. Sekilas memang kampung ini tak ada bedanya dengan desa-desa lain. Rumah-rumah berdiri berjauhan, sekiranya jika ada pasangan suami-istri bertengkar tak akan ada tetangga yang mendengar. Ini karena topografi tanah yang tak rata, juga batas kepemilikan tanah yang luas. Sebuah mushola cukup megah berdiri di sisi perempatan jalan utama, beberapa ratus meter di belakangnya sebuah pendopo kayu berdidi kokoh. Representasi tepat untuk warga Kampung Pitu yang menjalankan syariat Islam dengan sinkretisme ajaran Jawa. Rumah-rumah disana hampir semua berbentuk limasan Jawa, namun beberapa sudah lebih modern. Kandang sapi dan kambing berdiri sahaja di samping tiap rumah, penghuninya mengembek bahagia tak pernah kekurangan makan.
Kampung Pitu sendiri sebenarnya bukan benar-benar kampung, hanya bagian kecil dari sebuah desa. Secara administratif, Kampung Pitu tergabung di RT 19 RW 04, Padukuhan Ngglangeran Wetan, Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul, Yogyakarta.
Keangkeran Kampung Pitu membuat tak ada warga sekitar yang ingin ikut tinggal di sana.
Pantangan lain yang ada di sini adalah menggelar pertunjukan wayang, apalagi dengan lakon Raden Ongko Wijaya. Semasa kecil, Redjo melihat sendiri salah satu leher warga digorok oleh pelaku misterius ketika kepala desanya menggelar wayangan untuk memeringati ulang tahun.
“Kalau punya niat macam-macam, apalagi sampai melanggar pantangan, nggak akan pulang dengan selamat. Tubuhnya mungkin pulang, tapi nyawanya entah kemana,” jelas Redjo.
Sambil berjalan dan memetiki sayur untuk dimasak, Dalino mengeluhkan bahwa saat ini warga Kampung Pitu didominasi orang tua. “Setelah selesai sekolah, anak-anak muda di sini biasanya memilih untuk merantau dan tinggal di kota,” ujarnya.
Diam-diam Dalino berharap semua anaknya mau tinggal di Kampung Pitu, meskipun harus melanggar adat. “Kalau ada anak saya yang minta dibangunkan rumah disini ya monggo, akan saya bikin. Toh, tanah luas, daripada nasibnya nggak jelas di kota.
Mitos yang melingkupi Kampung Pitu memang tak bisa dijelaskan secara logis, namun telah berfungsi menjaga ekosistem di sana tetap lestari. Dampak subtil yang bahkan sulit dilihat oleh mereka warganya sendiri. Sementara generasi muda mulai tergoda untuk berkompromi dengan pantangan adat tersebut. Redjo Dimulyo sebagai juru kunci punya tugas untuk tetap menjaga jalannya tradisi di puncak gunung Nglanggeran tersebut. “Sayang juga ya, tanahnya luas dan sejuk tapi nggak bisa ditinggali orang lain. Tapi memang harus begitu, harus patuh sama alam,” jelas Redjo.(hen/nof)