Misteri Kampung Pitu.
Gelorajatim.com _ Dinamakan Kampung Pitu konon menurut cerita yang beredar merupakan tanah bertuah. Kampung tersebut mempunyai peraturan adat yaitu hanya dihuni tujuh keluarga yang boleh tinggal di sana. Tak kurang dan tak lebih serta semua orang meras kuat atau sanggup untuk tinggal di sana.
Puncak timur Kampung
Arti pitu cenderung sepi dan jarang dilalui orang asing, sebaliknya dengan puncak barat yang selalu ramai dikunjungi 170 ribu wisatawan saat tahun baru tiba. Satu-satunya akses jalan menuju ke kampung itu adalah lewat jalan semen yang diapit batuan andesit raksasa di kanan dan kiri. Dari jalan raya sampai di kaki gunung, perlu waktu sekitar 30 menit dan hanya bisa dengan motor untuk sampai ke Kampung Pitu.
Di sepanjang jalan yang dilewati harus waspada, karena kelokan berliku penuh tanjakan curam dan kadang semennya beralih jadi makadam. Jalanan itulah yang dilalui seorang Brian saban hari. Siang itu Brian sedang mengutak-atik motor bebek kesayangannya di teras rumah. Di Kampung Pitu, jarak satu rumah ke rumah lain berjauhan. Tujuh keluarga di kampung ini berpencar menempati lahan dengan tanah miring seluas ±7 hektare. Meski begitu, semua tetangga Brian sebenarnya adalah sanak-saudara karena seluruh penghuni Kampung Pitu adalah keturunan Eyang Iro Kromo, sesepuh pendiri Kampung Pitu yang ceritanya penuh mistis. Dan memang hanya mereka yang boleh tinggal di sana.
Hal ini juga yang membuat Brian tak punya teman sebaya di Kampung Pitu. Brian sendiri belum punya rencana apa-apa tentang masa depannya. “Belum tahu karena masih sekolah, tapi pengennya nanti ya ke kota, supaya dekat dengan jalan raya, di sini apa-apa jauh,” ujarnya.
Saat gelorajatim.com bertandang ke rumah Redjo Dimulyo, warga tertua yang berusia 102 tahun sekaligus merupakan juru kunci Kampung Pitu. Dia adalah cicit dari Eyang Iro Kromo, pemenang sayembara yang diadakan Keraton Yogyakarta untuk menjaga pusaka bernama Pohon Kinah Gadung Wulung yang ditemukan di puncak gunung Nglanggeran ini. Konon pusaka ini sangat kuat, hingga tak sembarang orang mampu merawatnya. Sebagai imbalan, dia mendapat tanah untuk hidup dan bisa diwariskan keturunannya hingga entah kapan. “Sekarang pusakanya dimana ya nggak kelihatan, tapi ada. Gunung Nglanggeran itu kan kepalanya Gunung Merapi, jadi memang sakral, tanahnya berbahaya di sini. Nggak semua orang kuat tinggal di sini,” ujar Redjo.
Menurut Redjo, desanya ini ada sejak tahun 1400-an, “Kalau dihitung nggak masuk akal ya? Masak 600 tahun juru kuncinya baru empat? Tapi eyang saya itu pas meninggal tahun 1925 umurnya 210, orang dulu memang sakti mandraguna,” ujarnya.
Tak jauh dari rumah Redjo, terdapat makam kuno dimana seluruh sesepuh dan warga Kampung Pitu yang meninggal disemayamkan disana. Dalam bahasa Jawa halus, Redjo menuturkan bahwa pantangan tujuh kepala keluarga di Kampung Pitu memang sangat genting. Aturan utamanya soal tujuh KK dan kepemilikan turun-temurun harus dipatuhi, jika tidak nyawa jadi taruhannya. Saat ini, Kampung Pitu dihuni tujuh KK dan terdiri dari 30 jiwa.
“Kalau ada orang ingin tinggal di sini silahkan saja, nggak ada yang ngelarang. Cuma sudah diperingatkan, nggak semua orang kuat tinggal di sini,” ujar Redjo. Dia sendiri tinggal bersama keluarga dan anak bungsunya bernama Surono berumur 35 tahun. Dari 16 anaknya, Surono adalah satu-satunya yang ikut tinggal di Kampung Pitu dan calon penerusnya.
Dia ingat, suatu hari di masa pemerintahan Sri Sultan Hamengkubuwono IX ada satu kyai yang tiba-tiba datang dan bersikukuh ingin tinggal di sana. Pak Kyai beralasan ini tanah negara jadi bebas ditinggali siapapun. Dia mau jadi keluarga ke-8, saya peringatkan kalau itu melanggar adat, dia ngeyel. Akhirnya belum selesai bangun rumah, tiba-tiba saja dia meninggal nggak tahu sebabnya. Hal seperti itu beberapa kali terjadi hingga dalam empat dekade terakhir ini tak ada yang berani lagi mencoba.
Meski tak menjelaskan secara gamblang, menurutnya pantangan itu didasari hukum alam bahwa jumlah semesta itu ada tujuh. Redjo percaya bahwa desanya adalah papan pancer alias pusat semesta, maka dari itu keseimbangannya harus dijaga. Tapi memang peraturan adat itu secara teknis membuat ekosistem di Kampung Pitu terjaga. Satu keluarga di Kampung Pitu rata-rata punya tanah seluas 1 hektare, secara keseluruhan lebih banyak tanaman ketimbang bangunan buatan manusia. Kampung Pitu juga bebas dari resiko polusi udara dan suara karena mata pencaharian warganya adalah bertani dan berkebun sehingga udara di Kampung Pitu sejuk dan subur.
Selama ini, penambahan dan pengurangan KK dalam trah Iro Kromo berlangsung secara organik. Seperti sudah diatur, kalau anaknya banyak, biasanya cuma 1-2 yang ingin tinggal di sini. Kalau ada ingin daftar KK sendiri, biasanya ada saja yang tiba-tiba meninggal. Selalu begitu dari dulu, otomatis,” jelasnya.
Satu-satunya cara yang bisa dilakukan orang luar untuk tinggal di Kampung Pitu adalah dengan menikahi warga sana. Seperti yang dilakukan Dalino, laki-laki asal Klaten yang kini menetap di Kampung Pitu sejak menikah tahun 1978. Istrinya adalah cucu-sepupu Redjo Dimulyo. Sebagai orang luar, dia tak banyak berkomentar soal aspek mistis desa yang di tinggali. Soal pantangan tujuh KK pun lebih memilih alasan yang lebih logis.
“Mungkin dari dulu tujuh itu karena akses ke sini memang susah, apalagi kalau hujan jalanan ke bawah itu jadi lumpur semua. Pas saya pindah ke sini masih zaman larang pangan, panen cuma sekali setahun, itupun diganggu sama hama kera. Secara ekonomi susah,” ujar Dalino.
Akses ke sini memang susah, jalanan semen yang saat ini diandalkan baru dibangun tahun 1999, sebelumnya warga Kampung Pitu berjalan kaki. (hen/nof)