Oleh : Nambi Sembilu, Dosen Universitas Pembangunan Nasional (UPN) ”Veteran” Jawa Timur
GELORAJATIM.COM — Beberapa waktu terakhir saya merenung, betapa cepatnya hidup kita terseret ke dalam arus digital. Dari bangun tidur hingga tidur lagi, hampir semua aktivitas kita bersentuhan dengan teknologi informasi. Mulai dari memesan ojek daring, memeriksa saldo e-wallet, belanja lewat marketplace, hingga memantau pengiriman barang secara real-time—semua serba digital dan bisa diakses lewat genggaman. Dunia telah berubah, dan sistem informasi telah menjadi infrastruktur tak kasat mata yang menopang hidup sehari-hari.
Di tengah derasnya arus digital ini, tentu kita menyambut baik berbagai upaya pemerintah dalam menghadirkan layanan publik berbasis teknologi. Banyak inisiatif sudah berjalan: layanan kependudukan digital, sistem informasi kepegawaian, aplikasi kesehatan seperti PeduliLindungi, portal perizinan online, dan lainnya. Ini menunjukkan keseriusan untuk masuk ke era digital governance. Namun, jika kita melihat dari perspektif pengguna, ada pertanyaan yang muncul: mengapa masyarakat masih lebih memilih aplikasi atau platform milik perusahaan teknologi (Big Tech) untuk memenuhi berbagai kebutuhan mereka?
Bukan berarti sistem pemerintah tidak berfungsi, tetapi tantangannya adalah bagaimana sistem-sistem ini bisa menjadi bagian dari kehidupan digital masyarakat secara utuh dan berkesan. Masyarakat kini terbiasa dengan pengalaman pengguna yang cepat, mulus, dan efisien. Aplikasi seperti Google, WhatsApp, atau Tokopedia memberikan standar layanan yang tinggi. Ketika masyarakat kemudian berhadapan dengan sistem informasi publik yang lambat, sulit diakses, atau tidak saling terhubung antar instansi, maka muncul rasa jenuh dan ketidakpercayaan.
Padahal, keberhasilan transformasi digital di sektor publik tidak cukup hanya dengan memiliki sistem, tetapi bagaimana sistem itu bisa menyatu dalam keseharian warganya. Saya percaya pemerintah menyadari hal ini. Namun, memang masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, terutama dalam hal integrasi data antar instansi, keandalan sistem, hingga peningkatan kapasitas sumber daya manusianya.
Salah satu hal penting yang juga perlu kita pikirkan bersama adalah soal infrastruktur digital. Tidak sedikit sistem informasi publik yang saat ini dijalankan di atas layanan cloud milik pihak ketiga, termasuk dari luar negeri. Ini bukan sesuatu yang salah, karena di awal pengembangan, opsi ini bisa jadi pilihan paling rasional dari sisi efisiensi dan dukungan teknis. Namun, ke depan, saya kira perlu dibangun kemandirian infrastruktur digital nasional—baik dalam bentuk cloud nasional, standar interoperabilitas, hingga pusat data pemerintah yang kuat dan aman. Tujuannya bukan untuk menutup diri dari dunia luar, melainkan untuk menjaga kontrol atas data dan sistem yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Hal lain yang tak kalah penting adalah keamanan data. Kita tahu, dalam beberapa tahun terakhir, sempat terjadi insiden kebocoran data yang melibatkan institusi publik. Ini tentu menjadi perhatian bersama. Bukan untuk saling menyalahkan, tapi sebagai pengingat bahwa kita masih memiliki celah yang harus diperbaiki. Disahkannya Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi (UU PDP) adalah langkah maju, dan implementasinya di lapangan akan sangat menentukan bagaimana kepercayaan publik dibangun kembali.
Yang sering kali luput dibahas adalah pentingnya membangun sistem informasi publik yang berorientasi pada pengguna. Banyak sistem yang secara teknis sudah baik, tetapi kurang memperhatikan kenyamanan pengguna akhir. Ini berbeda dengan pendekatan perusahaan teknologi yang membangun aplikasi dengan riset mendalam tentang kebutuhan dan kebiasaan penggunanya. Oleh karena itu, saya kira pendekatan user-centric design perlu mulai diadopsi secara serius dalam pengembangan sistem informasi publik. Bukan semata mengikuti tren, tapi untuk memastikan bahwa teknologi yang dibangun benar-benar berguna dan digunakan oleh masyarakat.
Dari sisi regulasi, tantangan lain yang kita hadapi adalah bagaimana menyusun kebijakan yang adaptif dan antisipatif terhadap perkembangan teknologi yang begitu cepat. Banyak regulasi baru yang bersifat reaktif, dikeluarkan setelah gejolak terjadi. Di era digital, pendekatan seperti ini tidak cukup. Kita perlu kebijakan yang visioner, berbasis pada pemahaman mendalam terhadap ekosistem digital global. Selain itu, keterlibatan para pemangku kepentingan—termasuk dunia kampus, industri lokal, dan komunitas teknologi—menjadi sangat penting agar kebijakan yang lahir tidak hanya kuat dari sisi hukum, tapi juga relevan dengan kenyataan di lapangan.
Saya juga ingin menyoroti pentingnya kolaborasi. Pemerintah tidak bisa bekerja sendirian dalam membangun sistem informasi publik yang kokoh. Dunia pendidikan, sektor swasta nasional, hingga komunitas pengembang punya peran besar yang bisa dioptimalkan. Kolaborasi ini bukan hanya soal transfer teknologi, tapi juga pertukaran wawasan, ide, dan semangat membangun ekosistem digital yang sehat dan inklusif.
Sebagai dosen yang berkecimpung di dunia sistem informasi, saya percaya bahwa masa depan sistem informasi publik sangat menjanjikan jika kita semua terlibat secara aktif dan kolaboratif. Kita tidak sedang berkompetisi dengan Big Tech, melainkan sedang berupaya membangun pilar digital bangsa yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Kritik tentu perlu, tetapi lebih dari itu, yang kita butuhkan adalah kesediaan untuk bekerja sama, belajar dari pengalaman, dan bergerak ke depan dengan semangat perbaikan berkelanjutan.
Masyarakat menaruh harapan besar pada sistem informasi publik—agar ia hadir tidak hanya sebagai kewajiban birokrasi, tapi benar-benar menjadi solusi dalam kehidupan sehari-hari. Harapan ini bisa diwujudkan jika kita bersama-sama menyadari bahwa membangun sistem informasi bukan hanya soal perangkat lunak, tapi juga tentang membangun kepercayaan, kolaborasi, dan visi bersama tentang masa depan digital Indonesia.