GELORAJATIM.COM — Bagi seseorang yang sedang merasakan cinta, ada pepatah yang mengatakan bahwa dunia serasa milik berdua, hal ini menandakan bahwa jatuh cinta itu indah dan romantis. Namun sebaliknya saat putus cinta ada pula pepatah yang mengatakan rasanya sakit tapi tak berdarah. Saat sepasang kekasih sudah ragu untuk melanjutkan hubungan maka, salah satu pihak akan mencoba mengatakan untuk putus.
Ketika putus cinta, perempuan selalu terlihat paling tersakiti dan sedih. Sedangkan pria dianggap mampu melewati perpisahan tersebut karena stereotip yang tertanam dalam stigma masyarakat mereka adalah makhluk kuat yang tak punya emosi. Namun apakah benar demikian? Faktanya ternyata pria yang lebih patah hati ketika mengalami putus cinta. Para peneliti dari Universitas Lancaster, menemukan bahwa pria cenderung mengalami rasa sakit emosional lebih dari perempuan ketika hubungan mereka memburuk, namun hal ini tidak terlihat! Kemudian hasil penelitian yang dilakukan oleh Charlotte Entwistle 184.000 partisipan menunjukan hasil laki-laki tampaknya lebih sulit untuk move on dari sebuah hubungan percintaan dari pada yang diperkirakan oleh stereotip tersebut. Mengapa bisa terjadi hal demikian?
Jika dikaitkan dengan teori komunikasi dalam konteks “gender and communication” kita bisa melihat beberapa pandangan yang dapat menjelaskan apa yang dirasakan antara laki-laki dan perempuan putus. Menurut pakar ilmu komunikasi, terdapat perbedaan dalam cara laki-laki dan perempuan berkomunikasi setelah putus hubungan. perbedaan gaya komunikasi antara pria dan wanita telah dikemukakan oleh Deborah Tannen dengan teorinya genderlect styles pertama, laki-laki cenderung menunjukkan reaksi emosional yang berbeda seperti lebih tertutup, cuek, atau berusaha lebih santai menghadapi putus cinta, sementara perempuan mungkin lebih terbuka dalam mengekspresikan perasaan mereka seperti menangis dan galau berhari-hari.
Yang kedua, Tujuan komunikasi setelah putus hubungan berbeda. Misalnya, laki-laki cenderung mencari solusi melakukan hal toxic, sementara perempuan memilih untuk berbagi perasaan untuk mendapat emosional. Yang ke tiga gaya komunikasi yang berbeda karena perempuan cenderung menggunakan perasaan, sementara laki-laki lebih berpikir secara logika. Yang ke empat penerimaan dukungan antara laki-laki dan perempuan setelah putus berbeda, laki-laki cenderung menyelesaikan masalah mereka sendiri, sementara perempuan merasa lebih terbantu jika mendapat dukungan dari orang lain.
Perlu diingat bahwa tidak semua laki-laki dan perempuan akan menunjukkan perbedaan komunikasi yang sama setelah putus hubungan. Setiap individu unik dan mungkin memiliki pendekatan yang berbeda dalam menghadapi situasi tersebut. Namun perbedaan lelaki cenderung menutup diri dan tidak mengekspresikan kesedihannya mengakibatkan mereka lebih susah move on dibandingkan wanita.
Pada saat putus cinta itu adalah hal yang paling tidak menyenangkan tetapi harus dihadapi walaupun itu pahit. Setiap orang punya cara tersendiri untuk melewati masa putus cinta, move on dari mantan dan melupakan semua tentangnya. Menurut teori gender dan komunikasi, Debora Tannen ketika hubungan percintaan putus, wanita akan memperdebatkan dan menguraikan alasan hubungan mereka putus, sementara laki-laki cenderung menghindari perdebatan tersebut. Inilah yang akan menjadi masalah utama saat hubungan percintaan kandas.
Dalam situasi putus cinta, komunikasi yang efektif sangat penting untuk membantu kedua belah pihak memahami perasaan masing-masing dan menyelesaikan situasi dengan baik. Dengan demikian, melalui pemahaman teori gender dan komunikasi menurut Debora Tannen, kita bisa belajar bagaimana cara menghadapi hubungan percintaan yang putus dengan lebih bijaksana dan empati, serta bagaimana pentingnya komunikasi yang efektif dalam memahami dan menyelesaikan konflik.
Terkadang tidak sedikit orang yang belum mengetahui secara pasti bagaimana caranya melewati putus cinta agar lebih tenang dalam menjalani kehidupan ini, dalam teori standpoint yang disajikan oleh Sandra Harding dan Julia Wood dapat dijelaskan bahwa dalam hubungan yang selesai, kedua pihak memiliki kepentingan dan kebutuhan yang harus dipertimbangkan bagi kedua belah pihak untuk merasa didengar dan dipahami, serta dihargai. Dalam teori ini menekankan pentingnya untuk memperlakukan pasangan dengan hormat dan tanpa mengorbankan diri sendiri.
Teori teori komunikasi Julia Wood, seperti teori dari buku “Interpersonal Communication: Everyday Encounters” yang membahas pentingnya kerjasama, saling mendukung, dan memahami perasaan satu sama lain dalam hubungan yang selesai. Ini bisa membantu mereka merasa lebih tenang dan proses penyembuhan bagi hati kedua belah pihak.
Lanjut, masih ada Muted Group Theory diperkenalkan oleh Shirley Ardener, yang membahas bahwa kandasnya sebuah hubungan bisa dikarenakan adanya perbedaan pengalaman, perbedaan budaya, pandangan dunia, budaya dan sosial keduanya dapat menjadi hambatan untuk dalam saling memahami dan mengartikulasikan kebutuhan dan harapan masing-masing, sehingga dalam hubungan tersebut ada yang merasa dipinggirkan dan mendominasi.
Misalnya, sebagai perempuan ada yang menemukan dirinya terpinggirkan dalam hubungan tersebut karena posisinya yang dianggap kurang berpengaruh dalam lingkungan budaya dan sosial yang didominasi oleh pria. Dengan menyadari pengaruhnya dominasi bahasa, sosial, pandangan, dan budaya, berpengaruh besar dalam mengakhiri hubungan maka kita dapat mengupayakan komunikasi yang lebih efektif dan inklusif untuk kebaikan bersama saat hubungan berakhir.
Saat putus cinta, kalimat mati satu tumbuh seribu sepertinya terdengar menyenangkan dan bisa jadi pelipur lara. Tidak ada yang dapat menjamin berapa lama dan berusaha bagaimana seseorang bisa cepat pulih dari patah hati. Harapannya dari beberapa teori yang sudah dijabarkan ini, kita dapat mengakhiri sebuah hubungan dengan penyelesaian yang lebih baik melalui komunikasi. Meski begitu putus cinta tak semudah kedengarannya, dan tentu prakter teori ini tidak semudah itu diterapkan. Kita mungkin sedang menghadapi perpisahan dengan sedih saat putus cinta namun waktu akan menyembuhkan luka itu.
Oleh: Kezya Yunsi Tamba (Mahasiswa Pasca Sarjana UNIFA Makassar)