GELORAJATIM.COM — Ketahanan nasional tak hanya ditentukan oleh kekuatan militer dan ekonomi, tetapi juga oleh keadilan hukum yang inklusif. Dalam konteks ini, Pembimbing Kemasyarakatan (PK) di Balai Pemasyarakatan (Bapas) memegang peran sentral, terutama sejak diberlakukannya KUHP baru berbasis keadilan restoratif.
KUHP baru yang disahkan melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 membuka ruang bagi pidana non-pemenjaraan. Salah satu pasal kunci, yakni Pasal 85, menyebutkan bahwa pidana pengawasan dan kerja sosial dilaksanakan di bawah bimbingan dan pengawasan Pembimbing Kemasyarakatan.
Pasal 85 menegaskan bahwa PK bertanggung jawab menyusun program pengawasan dan memastikan pelaksanaan kerja sosial berjalan sesuai prinsip pembinaan dan perlindungan hak asasi manusia. Hal ini menempatkan PK sebagai aktor utama dalam pemulihan pelanggar hukum secara manusiawi.
Raja Prawira Nugraha, Taruna Tingkat II Politeknik Pengayoman Indonesia, Jurusan Ilmu Pemasyarakatan, menyatakan, “Pasal 85 KUHP merupakan langkah progresif. Peran PK kini bukan hanya administratif, tetapi menjadi jembatan transformasi sosial yang berkelanjutan.”
PK juga menyusun Penelitian Kemasyarakatan (Litmas) yang memuat latar belakang sosial, psikologis, dan ekonomi pelanggar hukum. Litmas menjadi acuan penting bagi hakim untuk menjatuhkan pidana yang adil dan proporsional, serta mempertimbangkan reintegrasi sosial.
Pelaksanaan pidana pengawasan dan kerja sosial membutuhkan sinergi lintas lembaga—termasuk kejaksaan, pengadilan, dan instansi sosial. PK berada di garis depan untuk memastikan implementasi pidana alternatif berjalan efektif di lapangan.
Dengan pendekatan ini, PK bukan hanya melaksanakan kebijakan, tetapi juga memperkuat ketahanan sosial sebagai bagian dari ketahanan nasional. Pemulihan pelanggar hukum ke masyarakat secara produktif turut mencegah residivisme dan konflik sosial.
Sebagai pelaksana di lapangan, PK dituntut memiliki kompetensi tinggi dan pemahaman mendalam terhadap dinamika sosial. Oleh karena itu, peningkatan kapasitas SDM melalui pelatihan dan dukungan teknis menjadi krusial dalam menunjang tugas PK sesuai KUHP baru.
Pemerintah diharapkan mendukung optimalisasi peran PK melalui kebijakan yang berpihak pada pemasyarakatan progresif. Ini termasuk penguatan regulasi teknis, alokasi anggaran, dan pemanfaatan teknologi dalam pelaksanaan pidana pengawasan dan kerja sosial.
Melalui sinergi antara PK, aparat penegak hukum, dan masyarakat, diharapkan sistem peradilan pidana Indonesia dapat menjadi lebih adil, efektif, dan berkontribusi positif terhadap ketahanan nasional.
Penulis: Raja Prawira Nugraha (Taruna Tingkat II Politeknik Pengayoman Indonesia, Jurusan Ilmu Pemasyarakatan)