Sabtu, 21 Juni 2025. Krisis pangan global akan menjadi ancaman nyata yang diprediksi akan semakin parah jika tidak diatasi dari sekarang. Menurut Food and Agriculture Organization (FAO 2017), populasi dunia yang diperkirakan akan mencapai 10 miliar jiwa pada tahun 2050 merupakan sebab utama hal tersebut. Untuk memenuhi kebutuhan pangan global, produksi pertanian perlu ditingkatkan setidaknya 60%. Namun, hal tersebut bukanlah hal yang mudah dan tantangan terbesar dari itu merupakan kurangnya lahan subur dan perubahan iklim. Salah satu solusi yang berpotensi besar untuk mengatasi ancaman ini adalah lahan kering.
Lahan kering sering diabaikan dan tidak dijadikan solusi, padahal potensi lahan kering untuk dijadikan lahan pertanian sangat besar. Lahan kering mencakup sekitar 41% dari permukaan daratan bumi. Di Indonesia, lahan kering tersebar luas di Nusa Tenggara, Maluku, Sulawesi, dan sebagian Kalimantan. Lahan kering sering dianggap kurang produktif. Namun, dengan kemajuan dan penerapan teknologi yang tepat serta pengelolaan yang benar, maka lahan kering yang sering dianggap kurang produktif dapat menjadi kawasan produksi pangan yang optimal.
Lahan kering didefinisikan sebagai wilayah dengan tingkat curah hujan yang rendah, tingkat penguapan yang tinggi dan ketersediaan air yang terbatas. Tanah di wilayah ini umumnya miskin unsur hara, rentan terhadap erosi, dan memiliki kapasitas simpan air yang relatif rendah. Akibatnya, kegiatan pertanian di daerah ini sering kali diabaikan karena tidak menjanjikan secara ekonomis dan dianggap memiliki risiko yang tinggi. Namun jika dilakukan penerapan yang tepat, lahan kering memiliki sisi potensi yang besar. Lahan luas yang belum dapat dimanfaatkan, potensi pengembangan teknologi pertanian modern serta keragaman genetik tanaman lokal yang adaptif terhadap kondisi ekstrem menjadikan lahan kering sebagai kawasan strategis dan penuh potensi dalam menghadapi krisis pangan global.
Salah satu pendekatan utama dalam mengoptimalkan dan memaksimalkan lahan kering adalah dengan penerapan teknologi yang efisien dalam penggunaan air. Teknologi seperti irigasi tetes (Drip Irrigation) terbukti mampu meningkatkan efisiensi penggunaan air hingga 60–70% dibandingkan dengan metode irigasi tradisional yang menyiram sebagian besar area tanam. Air disalurkan langsung ke zona akar tanaman melalui selang yang berlubang kecil, mengurangi kehilangan air akibat penguapan. Negara-negara seperti India, Cina, dan Australia telah memanfaatkan teknologi ini untuk meningkatkan produksi di lahan kering. Di Indonesia, beberapa tempat seperti di Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat telah menerapkan sistem tersebut dan menunjukkan peningkatan hasil panen yang signifikan.
Selain irigasi, penggunaan teknologi berbasis Internet of Things (IoT) dan penggunaan sensor juga mulai diterapkan dalam pertanian lahan kering. Sensor yang dapat mendeteksi suhu, kelembapan, dan curah hujan diaplikasikan di lapangan dan terhubung ke sistem yang dapat diakses petani dalam perangkat elektronik mereka. Dengan sistem ini, para petani mendapatkan informasi real-time dan dapat mengambil keputusan yang lebih tepat mengenai kapan penyiraman dan pemupukan dapat dilakukan. Sehingga, dengan penggunaan teknologi ini, petani dapat menghemat air, pupuk, dan tenaga kerja serta di saat yang bersamaan mencegah gagal panen akibat kondisi ekstrem yang sulit diprediksi.
Teknologi penting lainnya yang perlu diterapkan pada pertanian di lahan kering adalah pengembangan dan penggunaan varietas unggul yang adaptif dalam kondisi ekstrem. Lahan kering menuntut penggunaan tanaman yang tahan terhadap kondisi kering, tetap produktif dalam kondisi ekstrem, dan toleran terhadap tanah yang kurang subur. Salah satu lembaga penelitian di Indonesia seperti Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Badan Litbang Pertanian) telah mengembangkan varietas tanaman yang tahan terhadap kondisi ekstrem seperti: padi Gogo, jagung hibrida tahan kekeringan, sorgum, dan kedelai tropis. Di tingkat global, teknologi rekayasa genetika melalui selective breeding atau penyilangan varietas unggul telah menghasilkan gandum dan jagung yang mampu tumbuh di tanah dengan sedikit curah hujan. Teknologi ini dapat membantu memperluas cakupan budidaya tanaman pangan ke wilayah-wilayah yang sebelumnya tidak produktif.
Dalam pertanian di lahan kering, penggunaan teknologi dapat memberikan hasil yang baik. Namun, untuk memaksimalkan produksi, pengolahan tanah juga memberikan kontribusi yang besar dalam keberhasilannya. Teknologi konservasi air seperti penggunaan plastik mulsa untuk menjaga kelembapan dan mengurangi penguapan, pengolahan tanah minimum (minimum tillage) terbukti dapat menjaga kesuburan tanah, dan teknik terasering untuk mengurangi erosi. Selain itu, pendekatan agroforestri atau sistem penanaman yang menggabungkan tanaman pangan dengan pohon-pohon besar atau peneduh yang bernilai ekonomi tinggi dapat menciptakan sistem pertanian berkelanjutan yang dapat mengatur siklus air dan memperbaiki struktur dan kesuburan tanah secara alami. Penerapan dan praktik ini memperkuat ketahanan ekosistem lahan kering yang dapat meningkatkan produktivitas pertanian untuk jangka panjang.
Dengan pengembangan teknologi masa kini, pertanian di lahan kering dapat dilakukan dengan skala yang lebih canggih. Pertanian dengan presisi (Precision Farming) dan kecerdasan buatan (AI) mulai diterapkan untuk pertanian di lahan kering secara efektif. Dengan bantuan analisis kondisi tanah, pola tanam, dan data cuaca, petani dapat merancang jadwal penanaman, pemupukan, dan penyiraman dengan presisi dan optimal berkat bantuan yang diberikan oleh kecerdasan buatan. Penggunaan drone dan data citra satelit juga memungkinkan pemantauan kondisi tanaman secara real-time, sehingga deteksi awal terhadap hama dan penyakit ataupun defisit nutrisi dapat dilakukan dengan cepat sebelum menyebar dan parah. Teknologi ini dapat menjamin kesehatan tanaman dari tanam hingga panen, serta mengurangi pemborosan sumber daya, baik manusia maupun sumber daya alam.
Penerapan teknologi di lahan kering juga memberikan dampak positif yang signifikan terhadap ketahanan pangan global. Peningkatan produktivitas menjadi indikator utama dalam keberhasilan. Misalnya, di Kenya, penggunaan varietas jagung yang tahan terhadap kekeringan dan penggunaan teknologi irigasi tetes meningkatkan produksi yang awalnya hanya 1 ton per hektar menjadi 3,5 ton per hektar. Efisiensi penggunaan sumber daya seperti air, pupuk, dan tenaga kerja juga meningkat pesat, sehingga biaya produksi menjadi rendah dan hasil panen lebih tinggi. Selain itu, pengembangan lahan kering dapat mengurangi ketimpangan produksi antar wilayah. Selama ini, sebagian besar produksi pangan terkonsentrasi di wilayah-wilayah subur yang padat kependudukannya. Dengan menggunakan dan mengoptimalkan lahan kering untuk pertanian, distribusi produksi pangan dapat diperluas dan risiko kerawanan pangan dapat diatasi dan ditekan.
Tentunya dengan adanya dampak positif, penerapan teknologi di lahan kering juga mendapatkan hal negatif seperti resistensi dari petani tradisional yang telah lama menggunakan metode konvensional dan skeptis terhadap perubahan. Oleh karena itu, pendekatan yang berbasis partisipatif sangat penting agar inovasi teknologi tidak hanya datang dari atas (top-down), tetapi juga tumbuh dari bawah (bottom-up) melalui keterlibatan aktif masyarakat lokal. Program penyuluhan harus disesuaikan dengan konteks lokal, menggunakan bahasa yang mudah dipahami, dan pendekatan yang menghormati nilai-nilai tradisional.
Salah satu studi kasus pengolahan lahan kering yang berhasil dapat dilihat di Indonesia, yaitu di Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi ini merupakan salah satu provinsi yang memiliki tingkat kekeringan tertinggi di Indonesia. Melalui program kerja antara pemerintah daerah, lembaga internasional, dan universitas sekitar, dilakukan pengembangan pertanian cerdas berbasis irigasi tetes, penggunaan varietas sorgum dan jagung yang tahan terhadap kekeringan, serta penyuluhan pertanian dalam penerapan dan penggunaan teknologi digital pertanian. Dalam waktu dua musim tanam, hasil produksi jagung meningkat 250% dibandingkan dengan metode konvensional. Hasilnya, pendapatan petani meningkat, dan ketergantungan pada bantuan pangan mulai berkurang. Ini membuktikan bahwa dengan penggunaan dan penerapan pertanian yang tepat, lahan kering dapat menjadi sumber ketahanan pangan yang menjanjikan.
Meski telah menunjukkan hasil yang menjanjikan, penggunaan dan penerapan teknologi lahan kering masih menghadapi berbagai tantangan. Biaya investasi awal untuk irigasi tetes, alat sensor pertanian, drone, dan teknologi berbasis kecerdasan buatan masih tergolong tinggi, terutama bagi petani dengan skala kecil. Literasi, pembelajaran, dan penyuluhan mengenai teknologi yang rendah di kalangan petani merupakan hambatan besar dalam penggunaan teknologi untuk meningkatkan produktivitas pangan, khususnya di lahan kering. Selain itu, di sisi kebijakan, belum ada integrasi menyeluruh antara sektor pertanian, lingkungan, dan sumber daya air untuk mendukung pengembangan lahan kering secara berkelanjutan.
Di sisi lain, pengembangan teknologi pertanian di lahan kering membuka peluang besar untuk inovasi lokal. Start-up agritech, mahasiswa pertanian, dan lembaga penelitian memiliki ruang besar untuk menciptakan solusi yang lebih murah, efisien, dan ramah lingkungan. Misalnya, penggunaan pompa tenaga surya yang terjangkau untuk irigasi tetes atau penciptaan sensor kelembapan tanah sederhana dari bahan lokal dapat membantu menekan biaya investasi awal. Hal ini tidak hanya memperkuat ekonomi lokal tetapi juga mempercepat adopsi teknologi di kalangan petani kecil. Penting juga untuk membangun sistem pendanaan dan pembiayaan yang inklusif untuk mendukung transformasi pertanian di lahan kering. Skema kredit mikro, koperasi pertanian, serta kerjasama dengan sektor swasta dapat menjadi motor penggerak yang memungkinkan petani mendapatkan akses terhadap teknologi.
Untuk menjawab tantangan tersebut, beberapa langkah strategis dapat dilakukan untuk memperluas penerapan teknologi pada pengolahan lahan kering sebagai langkah mitigasi krisis pangan global 2050 antara lain yaitu: pertama, pemerintah perlu memberikan bantuan berupa insentif dan subsidi bagi para petani yang ingin menerapkan teknologi hemat air dan konservasi di lahan kering. Penyediaan pelatihan, penyuluhan, dan pendamping teknis secara berkala menjadi salah satu tahap untuk menggunakan potensi lahan kering sebagai lahan pertanian yang produktif. Ketiga, transformasi sosial melalui edukasi dan penyuluhan harus dijalankan secara konsisten untuk membangun budaya pertanian yang modern, berbasis sains, dan mementingkan keberlanjutan serta jangka panjang untuk lingkungan. Terakhir, pendekatan agroekologi harus menjadi prinsip dan etika dalam pengembangan pertanian, untuk menjaga keseimbangan ekosistem dan alam.
Lahan kering yang selama ini dianggap tidak produktif dan tidak subur merupakan stigma yang perlu diperbaiki di kalangan masyarakat, khususnya di bidang pertanian. Lahan kering menyimpan potensi yang besar ketika dioptimalkan menggunakan teknologi, penerapan dan sistem perawatan tanaman yang baik dan benar. Dengan teknologi masa kini yang perkembangannya sangat pesat, lahan kering dengan pendekatan yang tepat dapat diubah menjadi lumbung pangan masa depan untuk menghadapi tantangan besar seperti krisis pangan global tahun 2050, pertumbuhan populasi, dan perubahan iklim cuaca bumi. Investasi dalam dunia teknologi pertanian bukan sekedar solusi teknis, tetapi merupakan langkah strategis yang harus diambil untuk menciptakan dunia yang lebih tangguh dalam menghadapi krisis-krisis yang akan datang lainnya. Oleh karena itu, pengembangan lahan kering dengan pendekatan teknologi itu penting dan menjadi keharusan prioritas global demi mencapai ketahanan pangan yang inklusif dan berkelanjutan.
Penulis: Yeo Vinco, Mahasiswa Prodi Studi Agroteknologi, Fakultas Pertanian Sains dan Teknologi, Universitas Warmadewa