SIDOARJO, GELORAJATIM.COM – Sidang pemeriksaan saksi dalam perkara dugaan pungutan liar (Pungli) dalam rangka program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) tahun 2023 di Desa Trosobo, Kec. Taman, Sidoarjo kembali digelar, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Surabaya. Memeriksa lima saksi yang dihadirkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri (Kejari) Sidoarjo, Rabu (28/05/2025) siang.
Kelima saksi yang dihadirkan JPU itu, Suryono Hadi, Sugianto, Suciana, Satupah dan Ahzab, ketika ditanya Majelis Hakim, mereka menyatakan mengenal kedua terdakwa Kades Trosobo non aktif Heri Achmadi, SH dan Sari Diah Ratna, yang juga ikut dihadirkan dalam persidangan untuk mendengar keterangan saksi.
Suryono Hadi, ketika ditanya JPU menyatakan tidak ikut dalam program PTSL, Suryono menceritakan, awal mulanya Ia akan mendaftarkan sebidang tanahnya dalam program PTSL.
Ia sudah mempersiapkan uang Rp 150 ribu untuk biaya pengurusannya, akan tetapi niat Suryono untuk mensertifikatkan tanahnya harus pupus, karena info yang didapat dari Pak Nanang selaku Ketua RT tempatnya tinggal, disebutkan ada biaya tambahan sebesar Rp 2,5 juta sebagai syarat merubah status tanahnya dari lahan basah menjadi lahan kering supaya bisa dimasukkan dalam program PTSL, karena merasa belum mempunyai cukup uang akhirnya Suryono membatalkan keinginan-nya untuk mensertifikatkan tanah sawahnya.
JPU berganti meminta keterangan saksi yang lain, Sugianto, warga Desa Trosobo, akan tetapi dia tinggal di Tuban. Sugianto mengungkapkan, bahwa Ia mendapat info adanya program PTSL di Desa Trosobo dari salah satu saudaranya yang bernama Indah. Berniat mensertifikatkan tanahnya, Sugianto pun meminta tolong saudaranya untuk mendaftarkan tanahnya dalam program PTSL.
Didalam proses pendaftaran, Sugianto mentransfer uang Rp 150 sebagai biaya pendaftaran PTSL itu, kemudian, ada tambahan biaya lagi sebesar Rp 2,5 juta yang dikatakan oleh terdakwa Sari Diah Ratna sebagai biaya tambahan untuk alih status dari lahan basah menjadi lahan kering, karena apabila tidak dirubah alih status lahan maka tidak bisa diikutkan dalam program PTSL, tanpa pikir panjang diapun mentransfer kembali uang yang diminta terdakwa Sari Diah Ratna tersebut.
Akan tetapi ketika sertifikat jadi, status tanah yang tertera masih tetap tertulis lahan basah, tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan terdakwa Sari Diah Ratna meski dia sudah membayar uang yang diminta.
Sugianto juga menegaskan, bahwa setelah sertifikat sudah jadi, lalu perkara ini mencuat dan dirinya diperiksa untuk dimintai keterangan oleh Kejari Sidoarjo, tiba-tiba uang yang sudah dibayarkan untuk biaya alih status lahan sebesar Rp 2,5 juta ini dikembalikan oleh terdakwa Sari Diah Ratna.
Sementara itu, saksi Suciana yang mendaftarkan dua bidang tanah atas nama anaknya, ketika ditanya JPU mengungkapkan, ketika mendaftar untuk ikut program PTSL, dia membayar Rp 300 ribu untuk dua bidang tanahnya.
Selang beberapa hari, datang Gunawan salah satu perangkat Desa Trosobo, yang mengatakan dirinya harus membayar lagi sebesar Rp 600 ribu untuk mendapatkan tanda tangan Kades,” Saya diminta Pak Gunawan Kasun Desa Trosobo, untuk membayar Rp 300 ribu per bidang tanah yang saya atas namakan anak saya, katanya untuk bisa mendapatkan tanda tangan Pak Kades diberkas surat waris yang saya ajukan”, tegas Suciana.
Ketika ditanya oleh Penasehat Hukum terdakwa apakah uang Rp 600 ribu itu dikembalikan,” Selang satu minggu kemudian, uang itu dikembalikan oleh Pak Gunawan, saya juga tidak tahu kenapa”, terang Suciana.
Saksi lain Ahzab, beliau juga mengajukan dua bidang tanah yang diatas namakan anaknya, proses hibah tanah itu Ia daftarkan di notaris, ketika proses hibah selesai, Ahzab segera mengajukan dua bidang tanahnya melalui Roji Ketua RT setempat yang diwakili oleh istrinya yang bernama Siti Komaria, Ketika itu Ahzab dimintai biaya Rp 150 ribu per bidang tanah dan disuruh menyiapkan masing-masing bidang tiga materai dan patok.
Sementara itu, saksi terakhir yang dimintai keterangan adalah Satupah, Satupah yang mendaftarkan satu bidang tanah atas nama anaknya, mengaku hanya membayar Rp 150 ribu ke Ketua PTSL, namun ketika menyerahkan berkas, ia diarahkan ke salah satu ruangan yang ada diKantor Desa Trosobo, dan diminta mengisi uang seikhlasnya kedalam kotak yang sudah disediakan panitia.
“Ketika selesai menyerahkan berkas, saya digiring panitia keruangan sebelah barat dan diminta mengisi uang seikhlasnya kedalam kotak tersebut, saya isi Rp 20 ribu karena memang saya tidak punya uang”, terang Satupah.
Namun Saksi Satupa melihat didalam kotak ada yang memasukkan antara Rp 20 ribu-Rp 100 ribu, bervariasi nominalnya.
Fakta menarik dari persidangan ini, ketika saksi Sugianto diminta mengecek salah satu bukti surat kuasa yang disitu tertera tanda tangan-nya, Kepada Majelis Hakim, Ia menyangkal bahwa surat pernyataan itu dia yang membikin, dan tanda tangan yang tertera juga bukan tanda tangannya.
Majelis Hakim sempat meminta Sugiantu untuk menulis dan bertanda tangan untuk membuktikan kebenaran surat pernyataan tersebut, dan Majelis Hakim sempat nyeletuk,” Ia beda…”, celetuknya. Diduga surat kuasa ini paksu untuk mengaburkan permintaan uang sebesar Rp 2,5 juta.
Terkait materai dan patok, seluruh saksi yang ikut program PTSL, mengatakan bahwa mereka diminta menyiapkan materai serta patoknya, rata-rat mereka dimintai tiga materai per bidang tanah yang diajukan, sementara untuk patok mereka juga diminta menyiapkan sendiri patoknya, untuk per bidang diminta patok sesuai kebutuhan masing-masing, ada yang dimintai antara 1 – 3 patok. (Rif)