GELORAJATIM.COM — Perang dagang antara Amerika Serikat dan Tiongkok yang semula berfokus pada tarif dan perdagangan kini telah menjelma menjadi perang dominasi teknologi. Salah satu medan pertempuran paling strategis dalam konflik ini adalah kecerdasan buatan (AI) dan sistem informasi global yang menopangnya.
Bagi Indonesia, yang tengah mengakselerasi transformasi digital, situasi ini bukan hanya menjadi tontonan geopolitik global melainkan juga alarm peringatan atas ketergantungan digital yang semakin dalam.
Perang Teknologi dalam Balutan Dagang
Sejak tahun 2018, ketegangan dagang antara dua ekonomi terbesar dunia telah berkembang ke ranah teknologi canggih. Amerika Serikat melarang ekspor chip AI dan semikonduktor canggih ke Tiongkok, terutama kepada perusahaan-perusahaan seperti Huawei, SMIC, dan yang terbaru, larangan atas chip buatan NVIDIA. Sebagai balasan, Tiongkok memberlakukan pembatasan ekspor logam tanah jarang (rare earth minerals) seperti gallium dan germanium yang penting bagi produksi chip global.
AI menjadi elemen krusial dalam strategi pertahanan dan ekonomi kedua negara. Tidak heran jika pengendalian terhadap teknologi ini menjadi simbol supremasi geopolitik baru. Sistem informasi global mulai dari cloud computing, AI language model, hingga infrastruktur data saat ini didominasi oleh perusahaan-perusahaan raksasa asal Amerika seperti Google, Amazon, Microsoft, dan OpenAI. Situasi ini menimbulkan keprihatinan atas ketergantungan negara-negara lain, termasuk Indonesia, pada ekosistem teknologi yang tidak mereka kuasai.
Ketergantungan Sistem Informasi: Rawan Disandera
Di Indonesia, adopsi sistem informasi berbasis cloud terus meningkat di sektor pendidikan, keuangan, logistik, hingga pemerintahan. Banyak di antaranya menggunakan layanan pihak ketiga yang dikelola dari luar negeri. Jika terjadi gejolak diplomatik atau pembatasan teknologi secara sepihak, maka sistem-sistem strategis nasional bisa terganggu atau bahkan lumpuh.
Sebagai contoh, pengembangan AI di dalam negeri sangat bergantung pada ketersediaan GPU dan server berbasis teknologi luar. Model AI bahasa Indonesia, sistem informasi kesehatan nasional, hingga platform analitik pendidikan, sebagian besar berjalan di atas arsitektur yang tidak dibangun sendiri. Kita tengah membangun rumah digital, namun dengan fondasi dan material milik orang lain.

Deskripsi Gambar: Peta dunia dengan dua kutub teknologi (AS dan Tiongkok), di antaranya negara berkembang termasuk Indonesia, dengan elemen AI (chip, cloud, server) di tengah.
Di Mana Posisi Indonesia?
Ketika Amerika dan Tiongkok saling membatasi akses teknologi satu sama lain, beberapa negara Asia Tenggara seperti Vietnam dan Malaysia mulai mengambil posisi strategis sebagai alternatif manufaktur dan pusat data. Indonesia, dengan populasi besar dan agenda digitalisasi nasional, sebenarnya memiliki peluang yang sama.
Namun untuk bisa mengambil posisi tersebut, Indonesia perlu melakukan lebih dari sekadar menyerap teknologi. Kita perlu membangun kemandirian dalam aspek infrastruktur digital, pengolahan data, serta pengembangan AI lokal berbasis bahasa dan konteks Indonesia. Tanpa itu, kita akan tetap menjadi “pasar” teknologi, bukan “pemain”.
Rekomendasi Strategis
Pertama, Indonesia harus mempercepat pembangunan cloud nasional dan pusat data dalam negeri yang tahan terhadap tekanan geopolitik. Inisiatif seperti Satu Data Indonesia harus diperkuat dengan payung hukum dan teknologi yang independen.
Kedua, investasi dalam riset dan talenta AI lokal harus menjadi prioritas. Perguruan tinggi, startup, dan industri perlu didorong untuk mengembangkan model AI yang memahami konteks lokal, baik dari sisi bahasa, budaya, maupun tantangan sosial-ekonomi.
Ketiga, Indonesia perlu membangun kemitraan strategis di luar poros AS-Tiongkok, termasuk dengan Uni Eropa, India, dan negara-negara Selatan Global, untuk memperluas akses teknologi dan menurunkan risiko ketergantungan tunggal.
Menjaga Kedaulatan di Era Data
Perang dagang mungkin terlihat jauh di Washington dan Beijing, namun dampaknya bisa sangat dekat dengan menyusup ke jaringan, server, dan data pribadi warga Indonesia. Di era digital, kedaulatan bukan hanya soal batas wilayah, tetapi juga tentang siapa yang mengendalikan informasi dan teknologi.
Indonesia harus bersikap cermat: menjadi pemain aktif dalam ekosistem teknologi global, bukan sekadar konsumen pasif. Dalam lanskap geopolitik yang semakin digital, kemandirian teknologi bukan pilihan, melainkan keharusan.