Singkong.
Gelorajatim.com – Singkong, selain sebagai bahan pangan, nyatanya singkong menjadi bahan pokok yang paling dibutuhkan seluruh industri. Mulai dari industri makanan, minuman, pakan, agrokimia (biofertilizer dan Biopestisida), industri kimia (MSG, biosurfaktan, biopolymer, enzim, poliol,biodeterjen dan membran), industri kosmetik (pelembab, pembentuk, pengisi dan stabilizer), energi terbarukan (bioethanol), hingga industri kayu, kertas, tekstil bahkan pengeboran minyak.
“Singkong (dalam bentuk tepung tapioka) juga banyak digunakan industri tekstil dan bahan pemanis pengganti gula. Selama ini kita tidak konsetrasi mengembangkan industri berbahan baku singkong, sehingga industri banyak mengimpor singkong (tepung),” ucap Prof. Subagio, Guru Besar Universitas Negeri Jember, Jumat (13/8/2021).
Prof. Subagio menghitung dengan jumlah produksi tersebut, pemasukan negara dari bioindustri berbasis singkong tersebut minimal bisa mencapai Rp 100 trilliun per tahunnya. Sayangnya, belum ada kebijakan (dari pemerintah) yang fokus kesana (menggarap bioindustri berbasis singkong).
Prof Subagio mencontohkan, untuk industri gula misalnya, daripada harus terus menerus impor gula rafinasi untuk kebutuhan industri gula, lebih baik mengedukasi masyarakat untuk mulai terbiasa dengan gula cair, agar bisa menumbuhkan permintaan dan industri gula cair dari singkong bisa muncul. Masyarakat perlu di edukasi bahwa dengan gula cair dari singkong jauh lebih sehat namun lebih manis.
Diakui Prof. Subagio, hingga saat ini Indonesia harus bisa melihat negara Thailand yang mampu menguasai manajerial bioindustri berbasis singkong. Sedangkan dari segi volume produksi, Indonesia sebenarnya tidak kalah dengan Negara Gajah Putih itu.
“Mereka (Thailand) menggenjot nilai tambah dari singkong, sehingga bioindustry berbasis singkong disana menjadi besar. Misalnya tepung tapioka, mereka tidak menggenjot pabrik tepung tapioka saja, tetapi ada puluhan bahkan ratusan produk turunan dari tepung tapioka yang mereka buat dan menjadi modified starch (tapioka termodifikasi),” jelas Prof. Subagio.
Karena produk turunan, tentu saja harganya lebih tinggi daripada sekedar tepung tapioka, paling tinggi harganya Rp 300 ribu per kilogram. Contohnya adalah amilum yang digunakan sebagai filler obat-obatan.
Untuk diketahui, Tepung Modified starch merupakan pati pregelatinisasi yang terdiri dari gabungan granula pati utuh dan granula pati pecah yang membentuk granula lebih besar, sehingga memiliki daya serap air yang baik. Tepung Tapioka modifikasi sangat cocok untuk produk makanan yang berbahan baku starch dan yang mengalami proses pengukusan ataupun penggorengan.
Menurut data dari FAO, mulai 1960an, Indonesia merupakan pemain besar di industry tapioka dunia. Namun turun terus dan tergeser oleh Thailand sejak 1990an. Vietnam Kamboja, Myanmar dan Laos mulai muncul di tahun 2000 awal hingga sekarang. [azl]