JAKARTA, GELORAJATIM.COM – Praktisi dan konten kreator hukum ternama, Abraham Ethan Martupa Sahat Marune terpilih untuk berbicara dalam Konferensi Internasional bernama The 7th International Conference on Strategic & Global Studies yang diselenggarakan secara hybrid di Deakin University, Melbourne–Australia pada hari Senin, 24 Juli 2023 dengan tema “Democracy, Development, and Digital Culture: Building Resilience After the Pandemic”
Acara ini terselenggara dengan bekerjasama dengan Sekolah Stratejik dan Kajian Global Universitas Indonesia (SKSG UI) dan dihadiri oleh pembicara ternama dari mancanegara seperti Bahlil Lahadalia (Menteri Investasi RI), Hasto Kristiyanto (Sekjen PDI-Perjuangan), Prof. Dr. Naoko Kumagai (Aoyama Gakuin University-Japan), Prof. Dr. Vedi R. Hadiz (University of Melbourne-Australia), dan berderet pembicara ternama lainnya.
Pendiri @tunahukum Abraham Ethan Martupa Sahat Marune mewakili almamaternya Fakultas Hukum Universitas Pelita Harapan bersuara mengenai “Mendemistifikasi Bahaya Kekosongan Hukum AI di Indonesia: Implikasi Strategis dan Tantangan Global”.
“Dalam era transformasi digital, keberadaan AI menjadi suatu keniscayaan. Namun, kekosongan hukum AI dapat menyebabkan risiko dan tantangan serius bagi Indonesia. Dalam era digital dan globalisasi, perkembangan teknologi AI melintasi batas negara dan memerlukan kerjasama internasional dalam menyusun kebijakan strategis. Keterbatasan harmonisasi dan konsistensi antara negara-negara dalam mengatur AI menjadi tantangan yang perlu diatasi.” ujar Abraham.
Abraham menjelaskan saat ini tidak ada aturan eksplisit yang menyatakan AI bisa diminta pertanggungjawaban hukum, “Perbuatan AI yang menyalahi etis dan aturan hukum tersebut seharusnya dipertanggungjawabkan, terlebih jika menimbulkan kerugian di pihak lain. Tapi, hukum positif Indonesia tidak mengenal AI sebagai subjek hukum. Peraturan yang ada saat ini hanya mengatur 2 subjek yang diakui secara sah menurut hukum Indonesia, yaitu orang dan badan hukum” imbuh legal influencer ternama itu.
Ketidakadilan dan diskriminasi menjadi masalah penting yang muncul akibat kekosongan hukum AI di Indonesia, “Algoritma dan sistem AI yang tidak diatur dengan baik dapat menghasilkan keputusan yang tidak adil dan diskriminatif. Kekosongan hukum dapat menyebabkan bias dalam pemrosesan data dan membuat keputusan yang menguntungkan kelompok tertentu, sementara merugikan kelompok lain,” jelas edukator hukum dengan lebih dari 150 ribu pengikut di TikTok itu.
Namun peraturan AI tidak dapat dibuat sembarangan. Pengaturan AI harus didasarkan pada pertimbangan yang matang dan menyeluruh untuk memastikan bahwa teknologi ini dikembangkan dan digunakan secara bertanggung jawab. Abraham juga menjelaskan apa saja ekspektasi hukum yang diharapkan diatur pada pengaturan AI di Indonesia.
“Dalam membangun komprehensif dan efektif peraturan yang terkait dengan penggunaan AI, setidaknya terdapat 3 aspek penting yang perlu perhatian, yakni (1) Peraturan AI harus didasarkan pada pemahaman teknis dan etika teknologi; (2) Libatkan berbagai pemangku kepentingan dalam proses pembuatan peraturan AI; (3) Utamakan perlindungan hak asasi manusia dalam pengembangan dan penggunaan AI; (4) Tetapkan mekanisme pemantauan dan evaluasi untuk mengukur efektivitas peraturan; (5) Kolaborasi dengan negara-negara lain dalam mengembangkan standar internasional AI.
(6) Sediakan sistem penegakan hukum yang kuat dan sanksi untuk kepatuhan; (7) Pertimbangkan fleksibilitas dan adaptabilitas dalam regulasi untuk mengikuti perkembangan teknologi AI,” imbuhnya.
Abraham juga memberikan inspirasi studi perbandingan regulasi AI di berbagai negara, tapi ia pun menekankan kita harus menyesuaikan dengan budaya hukum yang berlaku Indonesia. “Kita bisa belajar dari General Data Protection Regulation-nya Europian Union, Singapura punya Model AI Governance Framework, Jerman ada Ethics Guidelines for Trustworthy AI, Canada ada Directive on Automated Decision-Making, dan Amerika punya Ethical Principles and Practices for AI. Tapi penting untuk mempertimbangkan konteks dan kebutuhan khas Indonesia, serta melibatkan partisipasi berbagai pemangku kepentingan untuk memastikan bahwa penetapan norma AI sesuai dengan kondisi dan nilai-nilai lokal,” tuturnya.
Sebagai seorang praktisi hukum dan pengamat hukum yang terkenal, Abraham Ethan Martupa Sahat Marune menekankan peran masyarakat saat ini dalam rangka menyambut AI sebelum adanya peraturan. “Peraturan AI yang bijaksana dan bertanggung jawab merupakan kunci untuk memanfaatkan kecerdasan buatan dengan sebaik-baiknya dan mencegah bahaya yang mungkin timbul dari kekosongan hukum. Mari kita bekerja bersama, sebagai masyarakat global, untuk menciptakan masa depan yang adil, aman, dan beretika dalam era revolusi,” imbuh Abraham. (Vieto)

Tinggalkan Balasan